Oleh : Laelatul Luqiyana*
Pada tanggal 22 Oktober, kita merayakan Hari Santri Nasional. Kata “Santri”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki dua makna. Pertama, santri adalah orang yang mendalami agama Islam. Kedua, santri adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.
Kata “Santri” berasal dari bahasa Sanskerta, “Shastri”, yang berarti orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu. Dalam perkembangannya, kata “Shastri” diserap dalam bahasa Jawa dan berubah menjadi kata “Santri”. Kata santri sekarang dikenal sebagai golongan pelajar yang paham mengenai ajaran-ajaran agama Islam.
Catatan dalam buku Pergerakan Nasional (hal: 205) karya Wahyu Iryana, kata “Santri” terdiri dari lima huruf, ي ر ت ن س, yang memiliki arti bahwa seorang santri itu alim, menutup aurat, berpakaian sopan, menjaga hawa nafsu, dan yakin dengan cita-citanya.
Untuk memperingati Hari Santri Nasional atau HSN, Kementerian Agama mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri.” Menurut Gus Yahya, negeri ini tidak akan berjaya tanpa jihad dari warganya. Jihad ini dilandasi semangat kepahlawanan sebagaimana diteladankan para pahlawan demi tegaknya Indonesia.
Tema “Jihad Santri Jayakan Negeri” memiliki makna secara historis dan kontekstual. Secara historis, tema ini mengingatkan peran besar santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan secara kontekstual, tema ini menegaskan bahwa santri tetap memiliki kontribusi aktif untuk memajukan negeri. Kontribusi tersebut berupa jihad yang dilakukan santri dan tidak selalu merujuk pada peperangan angkat senjata.
Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, dalam acara launching logo Hari Santri Nasional di Kemenag, Jakarta, Jumat (6/10), mengajak para santri untuk terus berjuang membangun kejayaan negeri dengan semangat jihad intelektual di era transformasi digital.
________________________
*Penulis adalah gadis asal tegal yang sekarang duduk di kelas XI
Mantap